Penyakit mental yang satu ini membuat penderitanya sulit membedakan realita dan imajinasai. Kekacauan pikiran membuatnya mengalami delusi.
Dalam kasus ini, penderita menjalani kehidupannya penuh dengan imajinasi, hingga sering membuatnya tersenyum sendiri, atau malah merasa tertekan dengan sendirinya, tanpa didasari oleh kejadian tertentu.
Berdasarkan data yang dirilis WHO, diperkirakan ada 21 juta orang di dunia yang menderita skizofrenia.
Penderita skizofrenia juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda.
Di samping itu, setengah penderita skizofrenia diketahui juga menderita gangguan mental lain, seperti penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013, diperkirakan 1-2 orang tiap 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, termasuk skizofrenia, dan hampir 15 persen penderitanya mengalami pemasungan.
Skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa berat. Sekitar 10 persen penderita penyakit ini berakhir dengan bunuh diri dan cukup banyak pasien gangguan jiwa yang dipasung. Sebenarnya jika ditangani sejak awal, skizofrenia bisa disembuhkan.
Penyebab Skizofrenia
Penyebab skizofrenia memang belum diketahui dengan pasti. Namun, para ahli menyebut beberapa faktor, seperti genetika, biokimia di otak, serta gangguan organik akibat penggunaan obat-obatan terlarang, bisa memicu penyakit ini.
1. Faktor genetik
Keturunan dari pengidap skizofrenia, memiliki risiko 10 persen lebih tinggi untuk mengidap skizofrenia.
Risiko tersebut akan meningkat 40 persen lebih besar ketika kedua orang tua sama-sama pengidap skizofrenia.
Sementara itu, anak kembar yang salah satunya menderita skizofrenia, risiko akan meningkat 50 persen lebih besar.
2. Faktor kimia
Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamin pada otak, dapat menjadi salah satu penyebab dan meningkatkan risiko seseorang mengidap skizofrenia.
Keduanya merupakan zat kimia yang berfungsi untuk mengirim sinyal antara sel-sel otak sebagai bagian dari neurotransmitter.
Selain itu, pengidap skizofrenia juga memiliki perbedaan struktur dan fungsi otak, bila dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki gangguan mental. Perbedaan tersebut antara lain:
- Sel-sel pada otak memiliki konjeksi lebih sedikit.
- Lobus temporalis memiliki ukuran lebih kecil.
- Ventrikel otak memiliki ukuran yang lebih besar.
3. Komplikasi saat kehamilan dan persalinan
Skizofrenia dapat disebabkan oleh beberapa kondisi yang mungkin terjadi ketika masa kehamilan dan dampaknya akan terlihat ketika anak tersebut lahir.
Kondisi tersebut, seperti paparan racun dan virus, ibu seorang pengidap diabetes, perdarahan dalam masa kehamilan, serta kekurangan nutrisi. Selain dari kehamilan, komplikasi yang terjadi pada masa persalinan juga dapat menyebabkan seorang anak mengidap skizofrenia.
Contoh komplikasi yang dimaksud, seperti berat badan yang terlalu rendah saat kelahiran, kelahiran yang prematur, dan asfiksia atau kekurangan oksigen saat dilahirkan.
Baca juga: Ibu Depresi, Murung dan Pemarah Paska Persalinan? Berikut Gejala dan Penanganan Baby Blues
4. Stres
Stres bisa jadi biang keladi seseorang menderita skizofrenia. Stres bisa disebakan oleh perceraian, pemerkosaan, bullying dan kasus-kasus psikologis lainnya.
Akibat stres tersebut bisa menjadikan orang lari ke obat-obatan terlarang seperti napza, kokain, amfetamin dan lain-lain.
Faktor Penyebab Skizofrenia
Walau penyakit mental yang satu ini dapat menyerang usia berapapun, remaja yang menginjak usia 20 tahun ke atas lebih berpotensi terkena skizofrenia. Dipicu oleh:
- Penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
- Peningkatan aktivitas pada sistem kekebalan tubuh.
- Ketidakseimbangan kadar serotonin dan dopamine.
- Peningkatan aktivasi pada sistem kekebalan tubuh.
- Lahir dengan kondisi prematur.
- Kekurangan oksigen, nutrisi saat dalam kandungan.
- Terkena virus tertentu saat di dalam kandungan.
- Tidak normalnya bentuk struktur dan sistem saraf pusat otak.
Gejala Skizofrenia
Terdapat 2 jenis gejala Skizofrenia, yaitu:
1. Gejala positif
Penderita mendapati pikirannya kacau, juga halusinasi dan delusi, hingga terjadinya perubahan perilaku.
2. Gejala negatif
Pada gejala ini, penderita seperti kehilangan semangat hidup. Tidak lagi memiliki pola tidur normal, terlebih ke pada konsentrasi, sifat, serta kemampuan yang baik.
Dalam hal ini, penderita cenderung menghindar dari sosial karena ketidaknyamanannya saat bersama orang lain. Juga terlihat apatis dan kesulitan emosional.
Ciri-ciri Seseorang Menderita Skizofrenia:
- Sulit konsentrasi.
Kesulitan konsentrasi yang melanda dikarenakan piiran yang terbagi-bagi oleh imajinasi, contohnya seperti tidak fokus ketika diajak bicara. - Diam sampai gelisah.
Dikarenakan imajinasi yang menumpuk di kepala, seseorang yang mengidap skizofrenia seperti merasa bingung, dan merenungi apa yang dialami. - Halusinasi.
Penderita skizofrenia akrab dengan delusi, sementara yang dirasakannya hanyalah perihal apa yang ada dalam fantasinya.
Krusialnya dari hal ini kerap membuat penderitanya merasa tidak nyaman, hingga bisa bunuh diri. - Takut dengan keramaian.
Dalam hal ini penderita cenderung stres pada keramaian karena pikirannya telah lebih dulu ramai oleh imajinasinya.
Hal ini yang membuat penderita menarik diri dari sosial dan tidak responsif terhadap lingkungan sekitar. - Ngelantur.
Kondisi ini menggambarkan situasi pikiran yang tak dapat dikuasai. Bicaranya tak terarah, disebabkan oleh apa yang lebih dulu terasa akan mengacaukan pikirannya.
Alhasil, penderita sering ditemukan berbicara sendiri atau ngelantur ketika diajak berbicara.
Pengobatan Skizofrenia
Jika gejala gangguan kejiwaan skizofrenia terlihat, umumnya dokter kejiwaan akan melakukan pemeriksaan fisik kepada pengidap. Selain itu, pemeriksaan riwayat kesehatan keluarga juga akan dilakukan.
Sementara, untuk pemeriksaan penunjang dilakukan dengan prosedur seperti:
- Pemeriksaan laboratorium.
- Tes darah.
- Pemeriksaan citra otak.
- CT-Scan.
- MRI.
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menyingkirkan penyebab organik dari gejala skizofrenia, misalnya tumor otak atau kelainan metabolik yang bisa memiliki gejala halusinasi seperti skizofrenia.
Jika tidak ditemukan gejala atau indikasi penyakit lain akan gangguan kejiwaan skizofrenia, dokter akan merujuk pasien atau pengidap untuk ditangani oleh psikiater atau dokter spesialis kejiwaan.
Terapi atau Obat Skizofrenia
Skizofrenia dapat diobati dengan menggunakan beberapa cara, seperti mengombinasikan obat-obatan melalui terapi psikologis.
Obat dengan resep pada pengobatan skizofrenia ini adalah antipsikotik yang dapat memengaruhi zat neurotransmiter di dalam otak, yang bisa menurunkan rasa cemas, menurunkan atau mencegah halusinasi dan membantu menjaga kemampuan berpikir.
Dokter umumnya akan memberikan obat-obatan antipsikotik kepada pengidap skizofrenia untuk mengurangi atau menghilangkan gejalanya.
Pengobatan lainnya ialah dengan terapi kejut listrik atau elektrokonvulsif (ECT). Metode ECT dengan cara memberikan aliran listrik eksternal ke otak pengidap yang sebelumnya sudah dianestesi, atau ditidurkan sehingga kekacauan listrik pada otak penyebab gejala halusinasi dapat berkurang.
Pencegahan Skizofrenia
Untuk saat ini tindakan preventif gangguan kejiwaan skizofrenia secara spesifik belum tersedia.
Namun, tentu saja faktor risiko atas terjadinya skizofrenia bisa dilakukan dengan diagnosis sedari dini jika ada anggota keluarga yang memiliki indikasi akan adanya gejala skizofrenia.
Keharmonisan keluarga juga menjadi hal yang penting untuk dijaga, serta melakukan kegiatan positif dan rutin berolahraga juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan mental seseorang.
Jika seseorang terdiagnosis mengidap skizofrenia, penanganan medis dan pemberian resep dokter akan sangat berguna. Hal tersebut tentu saja bertujuan untuk menghindari gejala skizofrenia semakin parah, seperti dengan:
- Antipsikotik.
Sangat dianjurkan bagi penderita skizofrenia agar mengonsumsi obat antipsikotik.
Obat antipsikotik ini akan membuat penderita lebih tenang dan mengurangi imajinasi.
Obat antipsikotik sendiri ada dua macam yakni generasi pertama dan kedua.
Bedanya adalah, obat generasi pertama lebih murah dan memiliki efek samping seperti gemetar, kedutan, dan kejang otot. Sementara obat generasi kedua berkisar dengan harga yang lebih mahal tapi minim efeknya.
Obat generasi pertama terdiri dari:
– Aripiprazole.
– Asenapine.
– Brexpiprazole.
– Cariprazine.
– Clozpine.
– Ilorepidone.
– Lurasidone.
– Olanzapine.
– Paliperidone.
– Quetiapine.
– Risperidone.
– Ziprasidone.
Obat generasi kedua terdiri dari:
– Chlorpromazine.
– Fluphenazine.
– Haloperidol.
– Perphenazine. - Terapi kognitif
Pikiran yang carut marut nyatanya bisa ditata dengan terapi kognitif. Terapi kognitif merupakan pengobatan yang dilakukan untuk merapikan konsep pemikiran penderita.
Dengan terapi kognitif, penderita akan dituntun untuk menemukan kebiasaan alam bawah sadarnya, sehingga akan menyadari apa yang ia lakukan salah.
Apabila cara pikirnya sudah sesuai logika, maka akan dilakukan terapi perilaku untuk membiasakan berperilaku yang baik dan menghilangkan pemikiran negatif.
Penderita pelan-pelan akan dikenalkan dengan aktivitas-aktivitas bermanfaat seperti membuat suatu kerajinan. Hal ini akan mendorong penderita menjadi normal seperti manusia lainnya. - Rumah sakit jiwa
Rumah sakit jiwa bisa menjadi opsi alternatif untuk mengobati penderita. Hal ini dikarena penderita akan dirawat dan diperhatikan secara khusus. Kebersihan, nutrisi dan kea manan penderita akan terjaga oleh rumah sakit jiwa.
Q & A (Questions and Answers) tentang Skizofrenia
Q: Apa yang dirasakan penderita skizofrenia?
A: Yang dirasakan adalah sering mendengar suara-suara yang sebenarnya berasal dari imajinasinya sendiri, serta sering mengalami halusinasi.
Q: Skizofrenia apa artinya?
A: Skizofrenia berarti sebuah gangguan mental yang membuat sesorang kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang khayali.
Q: Bagaimana cara mengobati skizofrenia?
A: Caranya adalah dengan obat-obatan tertentu dan terapi kognitif.
Q: Apakah penderita skizofrenia bisa sembuh?
A: Menurut Dr. AA Agung Kusumawardhani, spesialis kesehatan jiwa, penderita skizofrenia memang bisa sembuh, namun tidak pulih 100%. Tapi dengan kemajuan obat-obatan, kekambuhan bisa dicegah.
Baca Juga:
- Berikut 3 Jenis Gangguan Mental dan Cara Mengobatinya
- Milenial, Perhatikan Faktor Kesehatan Berikut Ini Agar Tidak Mudah Mengalami Gangguan Mental
- Cemas Berlebihan, Hati-Hati Psikosomatik Risikonya!